Selasa, 08 Februari 2022

Aspek Hukum dalam Film Layangan Putus: Alasan Perceraian

Sumber gambar: https://www.detik.com/edu/edutainment/d-5888034/serial-layangan-putus-viral-di-medsos-begini-kata-dosen-unair


            Beberapa waktu lalu film Layangan Putus ramai diperbincangkan. Diantara daya tarik film itu adalah film diadopsi dari kisah nyata sehingga sangat dekat dengan kehidupan masyarakat serta pemerannya juga memiliki daya tarik tersendiri. Reza Rahardian (Aris), Putri Morino (Kinan) dan Anya Geraldine (Lydia) merupakan tokoh utamanya. Film ini mengisahkan kehidupan rumah tangga yang bahagia antara Aris dan Kinan yang telah dikaruniai seorang Anak perempuan bernama Raya. Kemudian Lydia hadir sebagai sosok orang ketiga (Pelakor) dalam kehidupan rumah tangga tersebut, sehingga perkawinan Kinan dan Aris diputus cerai oleh pengadilan.

Sebelum perkawinan Kinan dan Aris berakhir di pengadilan, terdapat satu scene yang menarik yakni pertemuan antara Aris dan Kinan dengan didampingi masing-masing pengacaranya dimana pengacara Aris menyatakan bahwa bukti perselingkuhan kliennya tidaklah kuat. Pada sisi lain pengacara Kinan begitu yakin akan menang di persidangan karena mempunyai cukup bukti atas perselingkuhan Aris.

Dalam ilmu hukum, Selingkuh berbeda dengan zina. Zina (overspel) diartikan sebagai hubungan di luar nikah selayaknya suami isteri antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang salah satunya terikat dalam perkawinan. Sedangkan “selingkuh” secara definisi tidak dikenal dalam khasanah hukum, tetapi menurut KBBI selingkuh berarti: suka menyembunyian sesuatu untuk kepentingan sendiri, tidak berterus terang, tidak jujur, curang, serong, suka menggelapkan uang, korup, suka menyeleweng. Dengan demikian berpacaran dengan suami / isteri orang lain sepanjang tidak berhubungan kelamin (layaknya suami isteri) tidak dapat dipandang sebagai perzinahan sebagai alasan gugat cerai. Oleh karena itu pengacara Aris mungkin saja menganggap bukti hubungan terlarang Aris dan Lydia harus benar-benar jelas. Jangan sampai hanya menggambarkan hubungan pertemanan belaka yang justru menunjukkan bahwa Kinan cemburu buta semata.

Meskipun demikian argumen pengacara Aris dapat saja dipatahkan karena alasan perceraian tidak semata karena ada perselingkuhan ataupun perzinahan.  Alasan gugat cerai yang sah menurut hukum adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yakni:

  • Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
  • Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
  • Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
  • Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;
  • Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
  • Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga

Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974, adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa. Jadi sederhananya perkawinan itu merupakan perjanjian yang jika suami / isteri menyebabkan tidak tercapainya tujuan perkawinan itu (bahagia dan kekal) maka isteri / suami dapat mengajukan gugatan perceraian ke pengadilan.

Dalam praktik, jika sebuah perkawinan sudah tidak sehat lagi dan tujuan perkawinan yang bahagia dan kekal tidak tercapai maka alasan-alasan perceraian tersebut dapat disimpangi. Hal ini dipraktikkan dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung berikut:

a.  Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 534/K/Pdt/1996 tanggal 18 Juni 1996: ”Bahwa dalam hal perceraian tersebut tidak perlu dilihat dari siapa penyebabnya percecokkan atau karena salah satu pihak meninggalkan pihak lain tetapi perlu dilihat dari perkawinan itu sendiri, apakah perkawinan itu masih dapat dipertahankan atau tidak, karena jika hati kedua belah pihak telah pecah maka tidak mungkin dipersatukan lagi”;

b. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 3180 K/Pdt/1985 tanggal 24 Desember 1986: ”Pengertian cekcok yang terus menerus tidak dapat didamaikan (onheelbare tweespalt) bukanlah ditekankan pada penyebab cekcok yang harus dibuktikan, akan tetapi melihat dari kenyataan adalah benar terbukti adanya cekcok yang terus menerus sehingga tidak dapat didamaikan lagi”;

Senin, 07 Februari 2022

Perbedaan Pejabat Negara dengan Pejabat Pemerintahan

Pejabat Negara adalah pejabat yang lingkungan kerjanya berada pada lembaga negara yang merupakan alat kelengkapan negara beserta derivasinya (lembaga negara pendukung). Lembaga Negara diartikan sebagai lembaga yang menjalankan fungsi negara (ketertiban, keamanan, kesejahteraan, kemakmuran, pertahanan, dan penegakan keadilan). Fungsi-fungsi tersebut dijalankan oleh kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif.

Menurut Pasal 122 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, Pejabat Negara terdiri dari:
a.Presiden dan Wakil Presiden;

b. b. Ketua, wakil ketua dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c.Ketua, wakil ketua dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat;
d.Ketua, wakil ketua dan anggota Dewan Perwakilan Daerah;
e.Ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada Mahkamah Agung serta Ketua, Wakil Ketua dan Hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc;
f.Ketua, wakil ketua dan anggota Mahkamah Konstitusi;
g.Ketua, wakil ketua dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan;
h.Ketua, wakil ketua dan anggota Komisi Yudisial;
i.Ketua dan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi;
j.Menteri dan Jabatan setingkat Menteri;
k.Kepala perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh;
l.Gubernur dan Wakil Gubernur;
m. Bupati / Walikota dan Wakil Bupati / Wakil Walikota; dan
n. Pejabat Negara lainnya yang ditentukan oleh undang-undang

Selanjutnya menurut C.F.Strong, Pemerintahan dapat diartikan secara luas dan sempit. Secara luas berarti meliputi seluruh pejabat pada cabang kekuasaan eksekutif, legislatif maupun yudikatif sedangkan dalam arti sempit berarti terbatas pada cabang kekuasaan eksekutif. Berangkat dari hal tersebut maka Pejabat Pemerintahan dalam arti luas dapat diartikan sebagai seluruh pejabat (badan-badan publik) yang lingkungan kerjanya berada pada lembaga yang menjalankan fungsi administrasi belaka (pejabat administrasi negara). Sedangkan pengertian pejabat pemerintahan dalam arti sempit dibatasi pada badan publik dalam menjalankan kekuasaan eksekutif.

Selanjutnya, UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara menyebutkan bahwa PNS merupakan warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai pegawai ASN secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan. Oleh karena itu seluruh PNS sesungguhnya merupakan pejabat pemerintahan, namun PNS belum tentu merupakan pejabat negara terlebih UU ASN memungkinkan PNS menjabat sebagai pejabat negara dengan catatan diberhentikan sementara sebagai PNS (tidak rangkap jabatan).

Kendati demikian Presiden memegang kekuasaan sebagai kepala Negara sekaligus sebagai kepala Pemerintahan. Presiden berkedudukan sebagai pejabat negara karena Presiden berfungsi sebagai alat kelengkapan negara sedangkan dalam kedudukannya sebagai penyelenggara kekuasaan eksekutif maka presiden dipandang sebagai pejabat pemerintahan.

Aspek Hukum dalam Film Layangan Putus: Alasan Perceraian

Sumber gambar:  https://www.detik.com/edu/edutainment/d-5888034/serial-layangan-putus-viral-di-medsos-begini-kata-dosen-unair               ...